Tuesday, June 16, 2020

Dilema Pengelolaan Lapangan Minyak Tua




Lapangan minyak di Indonesia sudah banyak yang mengalami penurunan produksi setelah sekian lama dieksploitasi. Penurunan produksi membuat keekonomian suatu lapangan secara perlahan-perlahan  menurun juga. Lapangan minyak seperti ini biasa disebut lapangan marginal.



Bagi praktisi migas, sudah menjadi pengetahuan yang jamak, bahwa produksi lapangan minyak semakin lama semakin berkurang, tetapi biaya produksi semakin bertambah. Biaya produksi tersebut karena metoda produksinya yang makin lama makin kompleks dan membutuhkan biaya, belum lagi peningkatan biaya lainnya.

Pada tahap awal sumur minyak masih mempunyai tekanan yang cukup untuk mengangkat minyak kepermukaan secara alami. Dengan berjalannya waktu, tekanan reservior berkurang, sehingga untuk mengangkat minyak kepermukaan diperlukan metode dan peralatan tambahan. Baik dengan bantuan gas lift atau peralatan pompa tambahan.

Problem seperti ini terutama dialami pada lapangan minyak dengan sumur-sumur dangkal dan sudah diproduksi dalam jangka panjang. Bahkan sejak jaman penjajahan Belanda. Terlebih lagi jika lapangan tersebut tidak mempunyai prospek cadangan lain di lapisan yang lebih dalam.

Berkurangnya cadangan minyak dan metode produksi yang memakan biaya, menyebabkan lapangan marginal banyak ditinggalkan investor dan menjadi dilema bagi pemerintah. Dilema tersebut terutama karena keekonomian yang tidak lagi mendukung keberlangsungan hidup lapangan minyak tua.

Sebagai contoh adalah lapangan minyak Bula. Setelah diproduksi dari sekitar tahun 1900-an, alias 100 tahun lebih, minyak dari perut bumi Nusa Ina ini, telah terkuras cukup banyak. Bahkan menurut berita yang berkembang, sudah melebihi prediksi ke-enginering-an ilmu perminyakan. Artinya sudah melebihi 100% dari jumlah minyak yang bisa diangkat kepermukaan berdasarkan prediksi awal cadangan minyak di blok Bula. Para ahli Geologist pun berdebat tentang hal ini, termasuk kemungkinan adanya resapan minyak dari lapisan yang belum diketahui asalnya, yang terus-menerus menyuplai lapisan produksi yang ada sekarang.

Apapun itu, produksi minyak Bula semakin lama semakin berkurang. Dari pada awalnya yang bisa mencapai ribuan barel perday, hanya tinggal 250-300 barel perday dengan jumlah sumur puluhan bahkan ratusan.

Pada saat sebelum kontrak PSC saat ini habis tahun 2019, Pertamina sempat menyatakan minatnya untuk mengoperasikan lapangan ini. Tapi ternyata tidak cukup ekonomis untuk dioperasikan, sehingga kembali ke operator lama yang mendapat kontrak Blok Bula tersebut. Tentu saja dengan segala macam problematika yang harus dihadapi, terutama terkait tentang keekonomian.

Pemerintah pusat juga harus berhati-hati dengan lapangan minyak se-tipe dengan lapangan Bula. Dampak keekonomian yang menurun, akan sangat berpengaruh untuk perusahaan kontraktor dalam menjalankan operasinya dengan benar.

Berikut ini dilema yang dihadapi lapangan minyak septipe Lapangan Minyak Blok Bula :

1. Masyarakat mendesak ke lokasi sumur.
Berkurangnya kemampuan ekonomi dalam memaksimalkan operasional lapangan, menyebabkan perusahaan tidak mampu melindungi lokasi sumur yang ada di WKP nya dari desakan laju pertumbuhan rumah atau kebun penduduk. Hal ini terjadi juga di Bula, dimana masyarakat mendesak ke areal sumur dengan membangun rumah dan berladang disekitar sumur. Bahkan dengan dukungan pihak tertentu, berita yang muncul di media massa adalah perusahaan mendesak ke areal pemukiman masyarakat. Kenyataannya, sumur telah ada terlebih dahulu sebelum masyarakat tersebut membangun rumah atau berkebun. Hal ini memerlukan perhatian pemerintah pusat maupun setempat untuk bersama-sama memberikan pengertian kepada masyarakat, sehingga tidak mudah diprovokasi pihak tertentu.

2. Isu Pencemaran Lingkungan
Badan Lingkungan hidup di Indonesia telah meratifikasi aturan lingkungan hidup  internasional, sehingga Indonesia menerbitkan peraturan lingkungan dengan baku mutu yang tinggi. Lapangan minyak tua memiliki keterbatasan keuangan yang cukup parah untuk bisa benar-benar mengikuti baku mutu lingkungan sesuai peraturan yang ada. Belum lagi batasan sumur dengan pemukiman warga yang sangat dekat, menjadi rawan terjadinya isu pencemaran lingkungan.

3. Bagi hasil migas dan kontribusi minyak
Bagi hasil migas dan kontribusi perusahaan minyak pengelola lapangan minyak tua sering kali menjadi bulan-bulanan publik. Bahkan tidak jarang menjadi gejolak yang mudah untuk disulut dan menggerakkan masyarakat untuk bereaksi. Pemerintah setempat sebenarnya memiliki peran penting dalam mensosialisasi peranan perusahaan bagi daerah, yang meliputi :
- penyerapan tenaga kerja
- pajak
- bagi hasil

Pada kondisi saat ini mungkin masih ada operator yang mau mengoperasikan, tetapi jika sudah benar-benar tidak mampu lagi menghidupi dirinya, lapangan harus ditutup dengan segala resikonya.

Pemerintah pusat dan daerah harus siap dengan kondisi ini, karena penutupan lapangan akan menimbulkan konsekuensi serius antara lain :
1. Penutupan setiap sumur dengan metode plug abondan sehingga tidak menimbulkan bahaya baik keselamatan masyarakat maupun lingkungan. Ini tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit ditengah berkurangnya atau ketiadaan dana yang bisa diperoleh dari lapangan tersebut.
2. Penambahan jumlah pengangguran akibat berhentinya operasi lapangan minyak
3. Hilangnya pendapatan negara dan daerah baik dari pajak maupun bagi hasil.

Dilema diatas harus dipersiapkan dengan matang, terutama dengan makin menurunnnya harga minyak dalam jangka panjang, yang menyebabkan lapangan marginal makin tidak ekonomis untuk dioperasikan.

Untuk memperpanjang umur lapangan tersebut pemerintah  baik pusat  maupun daerah, harus melakukan langkah-langkah diantaranya :
- memberikan insentif pajak bagi kontraktor
- mengurangi bagi hasil bagian pemerintah
- memberikan kemudahan dan biaya perizinan termasuk menfasilitasi perizinan dalam hal lingkungan yang mendukung industri migas
- memberikan sosialisasi positif pada warga tentang kondisi perusahaan minyak yang ada.

Walaupun terlihat menguntungkan kontraktor, sebenarnya pemerintah / rakyat masih mendapatkan hasil postif dalam bentuk pajak, bagi hasil, maupun terserapnya tenaga kerja lokal. Dibandingkan harus menghadapi konsekuensi serius akibat penutupan lapangan.

Pada akhirnya, penutupan lapangan menjadi konsekuensi logis ketika lapangan tersebut tidak mungkin lagi dioperasikan. Tetapi paling tidak, memperpanjang umur lapangan, berarti telah sesuai amanat Undang-Undang, yaitu mempergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dilema Pengelolaan Lapangan Minyak Tua Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Kabhumian

0 komentar:

Post a Comment