Tuesday, November 23, 2021

Kidung Sriwijaya dari Candi Kedaton


Mungkin tanah ini adalah tempat yang tidak pernah ada dalam bayanganku untuk kusinggahi. Tidak pernah terbesit dalam benak atau lintasan bayangan masa depanku.

Tidak seperti tempat-tempat lain yang pernah kusinggahi di Nusantara ini, lintasan-lintasan bayangan pemandangan telah datang mendahuluiku sebelum aku menjejakkan kaki di tempat itu.

Bumi Jambi seperti halaman kosong dalam nuansa pemikiranku, ketika aku memandanginya dari sela-sela awan. Ada ruang dan waktu yang tak tertembus saat aku mendarat.

Hari demi hari, minggu demi minggu kulewati, makin menambah keyakinanku bahwa tempatku berpijak ini adalah sebuah hamparan kosong. Tidak ada kesan aura kuat yang yang menyambut keberadaanku. 

Penduduk Jambi yang ada saat ini sebagian besar bukanlah penghuni asli tanah ini dari masa yang panjang. Berbagai suku bangsa ada disini dan tidak ada yang dominan. Walaupun bahasanya mirip dengan bahasa palembang, tetapi kesan palembang jauh dari kehidupan sehari-hari mereka. Melayu tidak, Padang tidak,  Batak tidak, Jawa tidak, bahkan Palembang pun tidak ... Aku tidak merasakan aura kuat yang dominan menaungi bumi ini.

Namun entah kenapa selama beberapa hari ini ada energi besar yang datang, tapi bukan dari tempat dimana aku berdiri. Sebuah undangan yang dari lokasi yang cukup jauh dari sini.

Sebuah undangan yang datang disampaikan dengan merasuki diri teman-temanku tanpa mereka sadari. Sampai akhirnya semua kompak mendatangi tempat tersebut. 

Pada awalnya aku enggan mengikuti rencana kepergian itu, karena perutku sedang tidak mau kompromi. Kembung dan tidak nyaman.

Tetapi aura undangan itu tak bisa aku tolak. Begitu kuat menggerakkan kakiku ke dalam mobil. Akhirnya kami berlima berangkat, bahkan berenam dengan kawan yang kami jemput di sebelah gang masjid.

Cuaca yang cerah perlahan berawan, tetapi tidak ada tanda-tanda hujan. Aku sebenarnya tidak menikmati perjalanan itu dengan kondisi perutku yang makin tak menentu. Tapi aura kuat yang melingkupi perputaran roda kendaraan kami membuat aku berusaha bertahan.

Setengah jam perjalanan,  aura dan hawa itu semakin kuat. Dari sela2 awan sebuah kilatan petir menghunjam bumi. Namun tak ada suara gemuruh yang menyertai petir tersebut.

Aku pandangi wajah teman-temanku yang sedang asyik bersendau gurau. Tak ada yg memperhatikan kilatan cahaya itu, atau mungkinkah mereka tidak melihatnya ?

Beberapa saat kemudian mobil kami melintasi sebuah wilayah dengan aura yang cukup kuat disebelah kiri kami. Secara spontan aku melihatnya. Tampak pagar batu bata di seberang sungai disebelah kiri kami.

Tetapi pemandu kami mengatakan bahwa lokasinya bukan disitu, tetapi maju lagi ke depan. Beberapa ratus meter kemudian, teman kami yang menyetir menghentikan mobilnya, lalu berkata,

"Sepertinya kita terlewat"

"Ah, benar, saya lupa. dulu tidak ada gerbang seperti ini", kata bayu pemandu kami.

Kami mundur secara perlahan beberapa meter, karena penduduk setempat cukup ramai ada di jalan yang tidak terlalu lebar tersebut.

Demikianlah kami sampai ke parkiran kompleks wisata candi Muaro Jambi. Kami sepakat untuk berjalan kaki masuk ke dalam kompleks candi tersebut, biarpun ada banyak yang menawarkan sewa sepeda atau bentor.

Lokasi masuk kompleks percandian, melewati jalan umum yang merupakan jalan kampung tersebut. Relatif bagus, telah beraspal dan tidak kumuh seperti penduduk desa tertinggal. Bahkan cenderung cukup mapan kondisinya. Mungkin karena berada dilingkungan pariwisata.

Memasuki kompleks percandian, terlihat bangunan candi yang cukup megah terbuat dari batu bata merah. Bangunan candi pertama yang terlihat kemudian aku ketahui dinamai dengan nama Candi Gumpung dari literatur yang kubaca.

Aura yang terpancar seakan-akan membawa kita ke masa lalu, berada ditengah kompleks percandian yang asing bagi kita di masa sekarang, berhasil membawa emosi kita ke alam lain di masa lalu.

Sebagian besar pengunjungnya adalah warga lokal dan domestik. Namun tampaknya mereka hanya tertarik berfoto-foto dan berlibur, dibanding mengagumi peninggalan yang bersejarah ini.

Mendekati Candi Gumpung, terdapat Makara yang mungkin terbuat dari batu andesit, tampak berbeda dengan menyolok diantara susunan batu bata merah. Makara yang hanya satu dan  terdapat di sebelah kanan tangga masuk Candi Gumpung, menyadarkan saya satu hal, bahwa makara itu dibuat kemudian atau dengan kata lain dari masa yang berbeda.

Batu andesit adalah batuan candi yang  sulit ditemukan di daerah Jambi, sehingga saya menyimpulkan jika makara tersebut dibawa dari tempat lain  sudah dalam bentuk terukir. Kemungkinan dari masa yang berbeda dari bangunan candi aslinya.

Ukiran makara nya mengingatkan saya pada candi-candi di pulau Jawa. Ini meyakinkan saya bahwa makara tersebut berasal dari masa yang berbeda dari masa pembuatan candi aslinya, yang semuanya terbuat dari batu bata.

Setelah mengamati lebih lanjut, saya terkejut dan menyadari bahwa makara tersebut bukan merupakan relief naga sebagaimana makara di candi-candi di Jawa, melainkan berbentuk kepala gajah dengan belalai dan gadingnya.

Setelah mengitari Candi Gumpung, saya tertarik menuju Candi yang terletak disebelah kiri depan, berjarak sekitar 100 m dari candi tersebut.

Sayangnya sudah terdapat pagar, yang mencegah pengunjung menaiki tangga candi tersebut. Candi ini dikemudian waktu, saya ketahui dinamakan Candi Tinggi.

Karena tidak dapat menaiki Candi Tinggi, saya mengitari candi tersebut dan menemukan lubang disisi kiri depan candi Tinggi. Karena penasaran, saya menyorotkan lampu LED hp saya ke dalam lubang tersebut.

Sungguh mengejutkan, didalam lubang tersebut kita menemukan struktur batu bata yang berbeda dengan batu bata terluar nya.

Kesimpulan saya, lapisan luar candi tersebut adalah lapisan yang lebih baru, menutupi bangunan candi sebelumnya.

Dengan kata lain, candi-candi tersebut telah mengalami pemugaran. Ini menjawab tanda tanya saya tentang makara dari batu andesit yang terbuat dari material yang berbeda dengan bangunan utamanya.

Siapapun yang membawa makara tersebut, tentunya merupakan kerajaan yang berkuasa saat itu.

Banyaknya Candi dalam kompleks pintu masuk Percandian, membuat saya menyimpulkan bahwa candi-candi tersebut merupakan candi yang berfungsi untuk pemakaman. Hawa yang tersebarpun memang cukup kuat di kompleks tersebut.

Cuaca yang mulai mendung dan meredup membuat kami memutuskan untuk kembali, walaupun saya masih penasaran dengan candi-candi lain yang belum sempat kami kunjungi.

Sebelum pulang, kami sempat istirahat dan mendapat informasi dari penjual minuman akan adanya kompleks candi baru yang ditemukan dalam kondisi utuh.

Ingatan saya melayang pada tembok bata yang kami lihat di seberang sungai. Rupanya itulah kompleks candi yang baru ditemukan.

Akhirnya kami memutuskan mengunjungi komplekscandi baru tersebut disisa hari yang ada.

Tidak terlalu jauh ternyata, hanya sekitar satu kilo dari kompleks candi pertama. Kendaraan kami parkir di depan mushola di seberang jalan. Kompleks percandian berada di seberang sungai. Untuk menjangkaunya, sudah dibangun jembatan oleh pemerintah setempat.

Terlihat sekali,jika kompleks ini masih pugar, terutama bagunan untuk petugas dinas purbakala dan menara penawas.

Kesan pertama ketika kami masuk adalah keteraturan kompleks percandiannya, sebagian besar maih berbentuk utuh dan tidak hancur seperti dikompleks sebelumnya.

Hawa yang terpancarpun berbeda, lebih "bersahabat". Sapaan hangat masalalu bisa kita rasakan disitu. Jika diamati lebih jauh, kompleks itu lebih mirip sekolah daripada pemakaman. 

Candi terbesar disitu berhadapan langsung dengan aula utama.

Kelebatan-kelebatan masalalu mulai menampakkan diri. Bunyi genta dan senandung doa terasa menyelimuti kompleks tersebut.

Saya mengunjungi beberapa aula tempat siswa menimba ilmu. Terasa sekali gemilang masalalu universitas terbesar di negeri ini terpancar . 

Beberapa "penghuni"dari masa lalu menemui kami dan beruluk salam. 

Tidak seperti kompleks sebelumnya, mereka lebih ramah dan ringan pancaran auranya. Seperti kilasan tanpa beban

Demikianlah kemudian kami meninggalkan petilasan para pencari Tuhan. Tatapan mereka tidak bisa kami lupakan.

Kami pun beranjak pergi karena hari mulai sore dan gerimis mulai turun.

Tapi entah kenapa badanku merasa berat, seakan ada yang menahan langkahku. Sesampainya di parkiran mobil disamping mushola, mataku tertuju ke dalam mushola tersebut. Seorang nenek yang sudah uzur terbata-bata membaca Al Quran. Hari yang sudah mulai sore, membuat ruangan dalam mushola terlihat gelap.Anehnya nenek tersebut, dengan usianya itu bisa membaca tulisan Al Quran dalam gelap.

Tanpa kusadari, aq berjalan mendekatinya Sapaan nenek tersebut membuat aku kaget dan terbata-bata.

"Ada apa nak ?"

Dalam kebingunganku, aq merogoh katongku dan mengeluarkan uang lima puluh ribuan dan kuberikan padanya.

Sinenek bertanya, Ini untuk siapa ? mushola atau saya ?

"Untuk nenek"

"Oh terima kasih nak"

Aku pun pamit dan keluar dari mushola. Di depan mushola aku tertegun. Belum menyadari apa yang terjadi.

Tiba-tiba sekelebat sosok gadis berambut panjang, bergegas keluar dari mobil kami, berjalan dengan cepat masuk ke mushola.

Aku terkejut dan penasaran, lalu mengejar masuk ke dalam mushola. Tapi nihil. Tidak kutemui gadis tersebut, kosong, hanya nenek tua yang sedang mengaji yang ada. Pintu lain pun tidak terbuka.

Aq masuk ke dalam mobil penuh dengan tanda tanya, lalu aku bertanya,

"Ada yang lihat tadi ?"

Semua bingung, "Lihat apa mas ?"

"Ah gak papa. Ya udah kita pulang, udah masuk semua kan?"

Si bayu tersenyum-senyum sambil berkata, "Santai mas, udah keluar yang ngikut tadi" 

Ohh... baru paham saya apa yang terjadi...

Temaram senja dan langit memerah mengiringi kepergian kami.


Jambi, November 2021

Kidung Sriwijaya dari Candi Kedaton Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Kabhumian

0 komentar:

Post a Comment