Ketika kita berbicara tentang cahaya dalam konteks spiritual dan keagamaan, maka sebenarnya kita berbicara tentang cahaya yang berbeda dengan cahaya yang tampak oleh mata manusia.
Tetapi kita sering mencampurbaurkan definisi, imaginasi atau sifat cahaya tersebut dengan cahaya yang tampak oleh indera manusia.
Sebagai contoh ketika kita membayangkan penciptaan manusia, malaikat, jin dan iblis, dimana manusia terbuat dari tanah, jin dari asap, iblis dari api dan malaikat dari cahaya, maka imajinasi kita langsung membayangkan sebatang lilin menyala yang memancarkan cahaya, memiliki api dan asap. Bahkan mensifati seakan akan penciptaan itu persis sama dengan dzat tersebut. Bahwa malaikat itu terbuat dari cahaya yang menerangi, iblis terbuat dari api yang menyala, jin dari asap yang mengepul dan manusia dari tanah yang kita injak.
Tentu saja menyamakannya adalah keliru.
Karena sesungguhnya, semua itu adalah tamsil atau perumpamaan, karena keterbatasan kata-kata untuk menggambarkan dzat2 tersebut. Perumpamaan untuk menuntun otak memahami secara logika terhadap kenyataan yang tidak bisa dirasakan oleh panca indera.
Perumpamaan menjadi benar secara sebagian, tetapi tidak secara keseluruhan. Misal seseorang dikatakan wajahnya indah seperti bulan purnama. Maka adalah benar bahwa wajah indah seperti bulan purnama yang dilihat dari bumi, tetapi tidak berarti seluruh sifat bulan sama dengan sifat orang tersebut.
Demikian pula cahaya tampak, adalah benar ketika dibilang cahaya tersebut menerangi kegelapan, tetapi tidak semua sifat cahaya tampak adalah sama dengan cahaya spiritual. Karena cahaya tampak secara fisik bisa terhalang oleh materi, sedangkan cahaya spiritual bisa menembus materi sesuai kekuatannya.
Walaupun ada sinar X yang bisa menembus materi, tetapi sinar atau cahaya tersebut berbeda dengan cahaya spiritual yang kita maksud.
Pada penggunaan yang tepat, tamsil cahaya dunia bisa dianggap menggambarkan sifat cahaya spritual, tetapi tetap saja cahaya tampak bukanlah cahaya spriritual yang sesungguhnya.
Secara kasar, cahaya bisa digolongkan menjadi 3;
1. Cahaya Ilahi
2. Cahaya Spiritual Makhluk
3. Cahaya Dunia
Cahaya Ilahi adalah cahaya yang sebenarnya, merupakan tertinggi dari semua cahaya. Tetapi penggambaran cahaya ilahi atau bahkan pengucapan cahaya ini, juga hanya merupakan tamsil untuk bisa dipahami oleh akal manusia.
Cahaya Spiritual Makhluk merupakan cahaya yang diciptakan oleh Ilahi, tidak pernah sama atau menjadi cahaya Ilahi setinggi apapun juga tingkatannya.
Cahaya Dunia atau cahaya dilevel materi, adalah cahaya yang diciptakan dari cahaya spiritual makhluk dengan campur tangan Ilahi melalui cahaya-Nya.
Cahaya (spiritual) makhluk memiliki tingkatan dengan sifat dan energi yang berbeda-beda. Dari cahaya termurni makhluk ini diturunkan cahaya-cahaya level dibawahnya. Seumpama cahaya putih yang bisa dipecahkan menjadi berbagai warna cahaya pelangi.
Dari Gabungan berberapa pecahan cahaya murni tersebut diciptakan makhluk lain seperti malaikat, iblis, jin dan manusia.
Untuk memudahkan akal manusia mensifati keberadaan makhluk, maka ditamsilkanlah dzat pembentuk makhluk dengan dzat yang bisa dirasakan oleh panca indera manusia.
Malaikat tercipta dari cahaya tampak, iblis dari api, jin dari asap, dan manusia dari tanah.
Semakin tinggi tingkatan cahaya makhluk, maka semakin dia tidak terlihat oleh tingkatan cahaya dibawahnya.
Tinggi disini bukalah berarti unggul, tetapi memiliki tingkat energi yang lebih halus/tidak kasat mata.
Makhluk kasat mata, yaitu dunia dan seisinya termasuk tubuh manusia tercipta memiliki tingkatan cahaya terendah yang kita sebut dengan materi.
Proses perubahan dari cahaya makhluk menjadi materi memerlukan energi yang sangat besar. Demikianlah diciptakan alam semesta sebelum tubuh manusia diciptakan. Kemudian dari saripati dunia materi diciptakanlah tubuh manusia. Kepadanyalah ditiupkan jiwa dan ruh manusia sehingga kita menjadi manusia seutuhnya.
Iblis dengan keiriannya, hanya melihat tubuh manusia sebagai makhluk yang tercipta dari tanah, dzat dengan tingkatan energi paling rendah. Jauh dibawah tingkatan cahayanya.
Tetapi dia lupa, bahwa yang dia lihat hanya tubuh kasar manusia, sementara didalam tubuh manusia diletakkan cahaya makhluk tertinggi, yang jauh melebihi tingkatan cahaya iblis bahkan malaikat sekalipun.
Manusia terjebak di dalam badan kasar, membuat iblis pun tidak menghargai manusia, sehingga ia menolak untuk menyembah adam karena merasa dirinya diciptakan dari dzat yang lebih tinggi.
0 komentar:
Post a Comment